Pagi itu, aku terbangun. Namaku Rafi. Seperti apa yang telah ia niatkan
semalam, sebelum membaca doa akan tidur. Ku niatkan agar dapat bangun sebelum
subuh, kemudian ikut berjamaah ayah dan ibuku di masjid. Ya, ayah dan ibuku
selalu menyempatkan waktu untuk berjamaah di masjid. Mereka berharap agar aku
juga meneladani kebiasaan baik mereka ini.
Ayam jago berkokok bersahut, azan subuh sedang berkumandang. Bergegas, Rafi
merapikan kamar tidurnya kemudian segera mengambil air wudu. Pagi ini air belum
begitu dingin, masih terbilang sejuk. Lain halnya jika setelah subuh, air
begitu dingin, membuat seluruh bulu kuduk merinding dan menggigil. Kata ayah,
mandi sebelum subuh itu menyehatkan, bahkan menurut medis mampu mengobati
berbagai macam penyakit. Salah satunya mencegah osteoporosis (perapuhan pada
tulang) dan mengobati penyakit rematik.
“Waahh, hebat ya, ayah? Ternyata air yang kita gunakan pagi sebelum subuh
saja mengandung banyak manfaat. Benar kata ayah, kalau Allah tidak menciptakan
sesuatu apapun tanpa manfaat yang banyak.” Sahut Rafi bersemangat. Rafi
membuktikan sendiri, air yang digunakannya sebelum subuh dengan air yang
digunakannya mandi ketika sebelum berangkat sekolah biasanya. “Benar kata ayah,
tadi.” Bicaranya dalam hati.
Ayah Rafi mengajarkan agar ia senantiasa bersyukur, memohon ampun dan
berdoa ketika menginginkan sesuatu. Mensyukuri apa yang telah diberikan Allah
atas nikmat sekecil apapun, memohon ampun atas segala kesalahan yang telah
diperbuat, kemudian barulah meminta apa yang dikehendakinya dengan berdoa.
Rangkaian inilah yang ditanamkan, karena sering kali manusia hanya meminta, itu
pun jika dalam keadaan terdesak. Barulah ingat. Sehingga ayah Rafi menanamkan
agar mensyukuri nikmat terlebih dahulu. Kita dilahirkan dengan begitu banyak
nikmat, tanpa kita sadari, kita melakukan kesalahan, besar maupun kecil. Saat
kita mempunyai hajat, maka sudah sepantasnya agar terlebih dahulu mensyukuri,
meminta ampun kemudian barulah meminta keinginannya dengan berdoa. Aku
bersyukur, dilahirkan dalam keluarga yang sedemikian ini. Aku dididik dengan
baik, dengan keteladanan sifat ayah dan ibuku.
Pukul setengah tujuh pagi, ibu sudah menyiapkan sarapan untukku. Telur
dadar dan taburan kecap di atasnya. Makanan kesukaanku. Ibu selalu tahu apa
yang aku inginkan. “Alhamdulillah, nak. Sarapanmu hari ini telur dadar. Sini
makan dulu, ya. Ibu suapi.” Kata ibu menawarkan. “Telur dadar yang dibuat ibu,
pas. Aku paling suka telur dadar di bagian pinggirannya, terasa begitu gurih.” Kata
Rafi ambil mengunyah suapan pertama. “Huussh, pelan-pelan, nak. Makanlah
pelan-pelan.” Kata ibu mengingatkan.
Sarapan habis, ibu menyodorkan minumku, segelas susu putih sambil berkata, “Sudah
siang, nak. Lekas minum susumu, lalu berangkatlah ke sekolah.” Sekolahku tak
jauh, hanya beberapa meter dari rumah. Biasanya kawan-kawanku menghampiri, saat
aku sudah selesai makan. Tiga orang temanku, yaitu Syarif, Tino dan Reza.
Merekalah yang setiap hari menghampiriku, tepat setelah aku menyelesaikan
sarapanku. Aku duduk di kelas 2 SD, di sebuah sekolah negeri di daerah Kroya,
Cilacap. Hari ini, upacara pengibaran bendera. Aku baru ingat, topi dan dasi
harus dikenakan hari ini. Gugup, aku mengecek ranselku. “Hmm.. Syukurlah, ternyata
sudah ada di dalam ransel. Mungkin ibu menyiapkannya semalam.” Kata Rafi dalam
hati. Aku baru ingat setelah melihat kawan-kawanku mengenakannya.
Kuputuskan untuk kembali ke rumah demi mengambil topi dan dasi. Tino
berkata, “Ayo, aku temani. Syarif dan Reza biarkan ke sekolah dulu, membawa tas
kita. Bisa kan?” Lekas keduanya kembali ke rumah Rafi, sepuluh menit lagi,
nampaknya masih cukup. Sedangkan Syarif dan Reza menuruti membawa kedua tas
Rafi dan Tino. Pukul tujuh kurang 2 menit, Rafi dan Tino sampai di sekolah. Keringat
mengucur deras karena berlari dari rumah. Bel sekolah berbunyi, pertanda
upacara akan segera dimulai. Regu petugas upacara bersiap di tempatnya. Dua
hari yang lalu mereka giat berlatih seusai pulang sekolah, semoga saja upacara
berjalan baik karena kerja keras mereka.
Upacara selesai, kini pelajaran pertama dimulai. Pendidikan Agama Islam.
Pak Abdul, guru pelajaran agama masuk ke ruangan. Menenteng buku cetak tebal
dan LKS PAI. “Assalamu’alaikum...” Pak Abdul memasuki kelas sambil
memberi salam. Siswa-siswi kelas Rafi bergemuruh, bergegas ke tempat duduknya
masing-masing. “Wa’alaikum salam warahmatullohi wabarakatuh, Pak Abdul”
seru para siswa. Hari ini setoran hafalan surah-surah pendek. Kartu Hafalan
Rafi sudah separuhnya terisi. Surah Al-Lail, jatahku hari ini.
Semalam ibu membantuku untuk menghafal Surah Al-Lail. Kata ibu, jika kita
ingin lebih cepat menghafal, kita harus lebih sering membaca Al-Quran. Sebab,
secara tidak langsung kita juga mengakses informasi yang dilihat mata, kemudian
dikirimkan ke otak untuk menyimpan ingatan itu. Nah, karena itulah otak kita
menjadi terlatih dan lebih cepat untuk menanggapi informasi. Salah satu cara lain
agar cepat hafal, bisa juga dengan mengulanginya beberapa kali, lalu menutup
mata sambil mengucapkan apa yang dihafalkan. Cara ini bekerja karena otak
menanggapi bunyi yang didengar terus menerus dan kemudian menyimpannya dalam
ingatan. “Wah, begitu hebat ya, kerja otak kita” kata Rafi.
Pak Abdul bercerita, tentang kebiasaan menghafal orang Arab di masa
Jahiliyah. Masa sebelum masuknya Islam. Pada masa itu, orang Arab mempunyai
kebiasaan untuk membuat syair-syair lalu ditempelkan syair-syair itu di
tembok-tembok rumah mereka. Karya yang terbaik akan dipajang pada dinding
Ka’bah. Tak sedikit orang menghafal syair-syair itu. Mereka menghafal karena
memang masih jarang orang yang bisa membaca dan menulis. Lalu masuklah Islam
dengan di utusnya Nabi Muhammad SAW. Allah menurunkan Al-Quran kepada Nabi
Muhammad melalui malaikat Jibril. Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi
seluruh alam. Di dalamnya mencakup berbagai aspek kehidupan. Banyak sahabat
Nabi yang dulunya memerangi Islam, namun ketika sudah mendengar bacaan
Al-Quran, mereka menangis, terharu, karena keindahan sastra di dalamnya. Mereka
mengakui baru kali ini mendengar syair seindah itu, lalu mereka masuk Islam.
Kebiasaan menghafal syair-syair sebelumnya digantikan dengan menghafal
Al-Quran. Nabi menjamin bagi para penghafal Al-Quran akan menempatkannya di
surga.
Bel
istirahat berbunyi. Pak Abdul mengakhiri pertemuan dengan salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar