Berbicara mengenai
santri, terbesit sekilas tentang karya Clifford Geertz dalam The Religion of
Java (1960). Di dalam bukunya setebal 412 halaman, Geertz setidaknya
menulis beberapa bagian (part) yang
membahas istilah ‘Santri’. Di antaranya, The Santri Variant, Santri Versus
Abangan (Islam; A General Introduction The Development of Islam in Indonesia,
Santri Versus Abangan: General Differences), Patterns of Internal Organization
of The Santri Community, The Santri Education System, The Ministry of Religion
and The Santri Political Parties, The Islamic State: The Santri Approach to The
Problem of Church and State, dan The Santri Ritual Patterns. Namun
sebenarnya, analisis paling awal mengenai dikotomi budaya ini dilakukan oleh
Robert Jay dalam karyanya Santri and Abangan (1957), sebuah kajian
cerdas yang sayangnya saat ini nyaris terlupakan. Bedanya, dalam skema Geertz
dilengkapi dengan varian elit dari golongan terakhir, priyayi.
Hubungan antara
santri dan abangan tidak selalu sepanas pada dekade 1950-an dan 1960-an.
Bahkan, timbul pertanyaan apakah keberadaan tiga pola santri, abangan, dan
priyayi bukan semata-mata merupakan artifak pergulatan politik antar partai
Islam (Masyumi, NU), PKI, dan PNI pada tahun-tahun tersebut. Beberapa dekade
sebelumnya, gerakan politik massa pertama di Hindia Belanda, Sarekat Islam,
menggerakkan massa dari kalangan abangan maupun santri.
Polarisasi pada
tahun 1960-an berujung pada pembantaian politik massal pada 1965-1966. Dua
dekade berikut terjadilah islamisasi luar basa di kalangan muslim (abangan dan
priyayi), suatu proses yang kadang oleh orang Indonesia disebut “santrinisasi”.
Salah satu faktor penyumbang pada proses ini adalah situasi politik. Namun ada
faktor lain yang menimbulkan meredupnya praktek-praktek abangan dan gerakan
kebatinan serta berkembangnya Islam skripturalis. Salah satu yang paling
penting adalah perubahan yang terjadi pada masyarakat Indonesia selama
tahun-tahun tersebut. Masyarakat yang sebelumnya relatif tertutup menjadi
terbuka, mobilitas meningkat, banyak orang berpindah ke kota.
Negeri ini menjadi
terbuka pada modal asing dan pariwisata serta pengaruh-pengaruh budaya yang
kebanyakan berasal dari Barat, meski tidak semua. Pendidikan umum membuka wawasan
masyarakat dan membuka banyak akses pada teks tertulis yang belum pernah
terjadi sebelumnya. Salah satu dampaknya adalah sekularisasi, Islam Skripturalis.
Sebagai muslim, orang bisa merasakan dirinya menjadi bagian dari peradaban
urban modern dengan cara yang tidak pernah bisa dirasakan kaum abangan.
Terbukanya
banyak akses mampu menyambung dan mengembangkan tradisi keilmuan Islam di
Indonesia. Salah satu tradisi agung (Great tradition) di Indonesia
adalah tradisi pengajaran agama Islam seperti yang muncul di pesantren Jawa dan
lembaga-lembaga serupa di luar Jawa serta Semenanjung Malaka. Alasan pokok
munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional yang
terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu. Kitab-kitab
ini dikenal di Indonesia sebagai kitab kuning. Tak hanya kaum
tradisionalis, namun organisasi kaum reformis Muhammadiyah juga memiliki
pesantren, meskipun seleksi kitab-kitab klasiknya berbeda dengan pesantren
tradisional.
Ada paradoks
pada tradisi pesantren. Di satu sisi ia berakar kuat di bumi Indonesia; pondok
pesantren bisa dianggap lembaga yang khas Indonesia. Meskipun ia merupakan
lembaga pendidikan Islam tradisional, namun dalam beberapa aspek, berbeda
dengan sekolah tradisional di dunia Islam manapun. Di sisi lain, pada saat yang
sama ia berorientasi internasional, dengan Makkah sebagai pusat orientasinya,
bukan Indonesia. Pigeaud dan de Graaf menyatakan bahwa pesantren merupakan
jenis pusat Islam terpenting kedua setelah masjid, pada periode awal abad
ke-16.
Belum lama ini,
setelah ditetapkannya tanggal 22 Okrober sebagai Hari Santri Nasional muncullah
berbagai tanggapan baik pro maupun kontra. Ketua Muhammadiyah menyatakan
penolakan atas ditetapkannya hari santri ini dengan dalih akan memecah belah
umat, karena menimbulkan sekat-sekat antara yang santri dan non-santri. Tak
lama berselang, Komunitas pencinta sekaligus pelestari pemikiran KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) Blitar menilai penolakan Muhammadiyah terhadap Hari Santri
Nasional, justru akan memecah umat Islam.
"Justru
dengan menolak Hari Santri Nasional, Muhammadiyah telah membuat sekat,
kotak-kotak, khususnya dengan warga nahdliyin," ujar juru bicara Gusdurian
Blitar Mahathir Muhammad kepada wartawan, beberapa waktu lalu.
Menurut Mahathir,
analisa santri, abangan dan priyayi Indonesianis yang dipakai Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, sudah tidak relevan. “Tidak
konstektual lagi,” ujar dia.
Mahathir
menuturkan, penetapan Hari Santri merupakan bentuk apresiasi negara kepada umat
Islam yang mengambil peran besar dalam perjuangan 10 November 1945. Mobilisasi
umat Islam secara besar-besaran digerakkan Resolusi Jihad yang diserukan KH
Hasyim Asy'ari, pendiri NU yang juga kakek Gus Dur. Resolusi jihad terbit pada
tanggal 22 Oktober. Versi sejarah menyebut hasil diskusi antara Kiai Hasyim
Asy'ari dengan Bung Karno.
Intinya setiap
umat Islam, terutama yang berada di radius jarak 94 kilometer dari pertempuran
Surabaya, hukumnya wajib berjihad fi sabilillah mempertahankan tanah air
dari gempuran penjajah.
"Dan kebetulan sebagian besar yang
bergerak maju ke medan perang adalah kalangan santri. Namun, resolusi itu
sendiri sebenarnya ditujukan kepada seluruh umat Islam," ujar dia.
Mahathir yang
akan memakai nama lembaga Front Aktivis Muda NU Blitar Raya berencana memutar
film dokumenter resolusi jihad dan diskusi pada 22 Oktober 2015 mendatang.
Pemutaran film dan diskusi pada peringatan perdana Hari Santri akan dilakukan
di desa-desa dengan melibatkan kelompok pemuda karang taruna dan remaja masjid.
"Sekali lagi, tidak ada alasan menolak
Hari Santri. Sebagai umat Islam seharusnya mendukung ini sepenuhnya,
"tutur dia.
Hal senada
disampaikan Ketua GP Ansor NU Kota Blitar Hartono, menurutnya, tidak ada alasan
umat Islam, khususnya Muhammadiyah menolak penetapan hari santri. Hartono
menegaskan, tidak ada yang dikotak-kotakkan. Hari Santri justru menunjukkan
umat Islam memiliki peran besar dalam revolusi kemerdekaan.
"Artinya dasar utama penetapan Hari
Santri adalah sejarah perjuangan bangsa. Dan penggeraknya adalah resolusi
Jihad. Ini sama dengan memberi penghargaan kepada pahlawan kemerdekaan,
"ujarnya.
Sebelumnya,
Haedar Nashir dalam acara pembukaan Tanwir II Nasyatul Aisyiyah di Bandung,
Kamis 15 Oktober 2015 menyatakan, organisasinya menolak Hari Santri Nasional.
Haedar beralasan, Muhammadiyah membawa semangat ukhuwah yang lebih luas di
tubuh umat Islam. Muhammadiyah khawatir, Hari Santri hanya akan memunculkan
dikotomi santri dan non santri. Hari Santri hanya akan mengkotak kotakkan
kategori santri, abangan dan priyayi. Atas dasar itu, Muhammadiyah akan
menyampaikan penolakan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
[AFR]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar