Minggu, 18 Oktober 2015

Hari Santri Nasional


Berbicara mengenai santri, terbesit sekilas tentang karya Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960). Di dalam bukunya setebal 412 halaman, Geertz setidaknya menulis  beberapa bagian (part) yang membahas istilah ‘Santri’. Di antaranya, The Santri Variant, Santri Versus Abangan (Islam; A General Introduction The Development of Islam in Indonesia, Santri Versus Abangan: General Differences), Patterns of Internal Organization of The Santri Community, The Santri Education System, The Ministry of Religion and The Santri Political Parties, The Islamic State: The Santri Approach to The Problem of Church and State, dan The Santri Ritual Patterns. Namun sebenarnya, analisis paling awal mengenai dikotomi budaya ini dilakukan oleh Robert Jay dalam karyanya Santri and Abangan (1957), sebuah kajian cerdas yang sayangnya saat ini nyaris terlupakan. Bedanya, dalam skema Geertz dilengkapi dengan varian elit dari golongan terakhir, priyayi.
Hubungan antara santri dan abangan tidak selalu sepanas pada dekade 1950-an dan 1960-an. Bahkan, timbul pertanyaan apakah keberadaan tiga pola santri, abangan, dan priyayi bukan semata-mata merupakan artifak pergulatan politik antar partai Islam (Masyumi, NU), PKI, dan PNI pada tahun-tahun tersebut. Beberapa dekade sebelumnya, gerakan politik massa pertama di Hindia Belanda, Sarekat Islam, menggerakkan massa dari kalangan abangan maupun santri.
Polarisasi pada tahun 1960-an berujung pada pembantaian politik massal pada 1965-1966. Dua dekade berikut terjadilah islamisasi luar basa di kalangan muslim (abangan dan priyayi), suatu proses yang kadang oleh orang Indonesia disebut “santrinisasi”. Salah satu faktor penyumbang pada proses ini adalah situasi politik. Namun ada faktor lain yang menimbulkan meredupnya praktek-praktek abangan dan gerakan kebatinan serta berkembangnya Islam skripturalis. Salah satu yang paling penting adalah perubahan yang terjadi pada masyarakat Indonesia selama tahun-tahun tersebut. Masyarakat yang sebelumnya relatif tertutup menjadi terbuka, mobilitas meningkat, banyak orang berpindah ke kota.
Negeri ini menjadi terbuka pada modal asing dan pariwisata serta pengaruh-pengaruh budaya yang kebanyakan berasal dari Barat, meski tidak semua. Pendidikan umum membuka wawasan masyarakat dan membuka banyak akses pada teks tertulis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Salah satu dampaknya adalah sekularisasi, Islam Skripturalis. Sebagai muslim, orang bisa merasakan dirinya menjadi bagian dari peradaban urban modern dengan cara yang tidak pernah bisa dirasakan kaum abangan.
Terbukanya banyak akses mampu menyambung dan mengembangkan tradisi keilmuan Islam di Indonesia. Salah satu tradisi agung (Great tradition) di Indonesia adalah tradisi pengajaran agama Islam seperti yang muncul di pesantren Jawa dan lembaga-lembaga serupa di luar Jawa serta Semenanjung Malaka. Alasan pokok munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu. Kitab-kitab ini dikenal di Indonesia sebagai kitab kuning. Tak hanya kaum tradisionalis, namun organisasi kaum reformis Muhammadiyah juga memiliki pesantren, meskipun seleksi kitab-kitab klasiknya berbeda dengan pesantren tradisional.
Ada paradoks pada tradisi pesantren. Di satu sisi ia berakar kuat di bumi Indonesia; pondok pesantren bisa dianggap lembaga yang khas Indonesia. Meskipun ia merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional, namun dalam beberapa aspek, berbeda dengan sekolah tradisional di dunia Islam manapun. Di sisi lain, pada saat yang sama ia berorientasi internasional, dengan Makkah sebagai pusat orientasinya, bukan Indonesia. Pigeaud dan de Graaf menyatakan bahwa pesantren merupakan jenis pusat Islam terpenting kedua setelah masjid, pada periode awal abad ke-16.
Belum lama ini, setelah ditetapkannya tanggal 22 Okrober sebagai Hari Santri Nasional muncullah berbagai tanggapan baik pro maupun kontra. Ketua Muhammadiyah menyatakan penolakan atas ditetapkannya hari santri ini dengan dalih akan memecah belah umat, karena menimbulkan sekat-sekat antara yang santri dan non-santri. Tak lama berselang, Komunitas pencinta sekaligus pelestari pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Blitar menilai penolakan Muhammadiyah terhadap Hari Santri Nasional, justru akan memecah umat Islam.
"Justru dengan menolak Hari Santri Nasional, Muhammadiyah telah membuat sekat, kotak-kotak, khususnya dengan warga nahdliyin," ujar juru bicara Gusdurian Blitar Mahathir Muhammad kepada wartawan, beberapa waktu lalu.
Menurut Mahathir, analisa santri, abangan dan priyayi Indonesianis yang dipakai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, sudah tidak relevan. “Tidak konstektual lagi,” ujar dia.
Mahathir menuturkan, penetapan Hari Santri merupakan bentuk apresiasi negara kepada umat Islam yang mengambil peran besar dalam perjuangan 10 November 1945. Mobilisasi umat Islam secara besar-besaran digerakkan Resolusi Jihad yang diserukan KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU yang juga kakek Gus Dur. Resolusi jihad terbit pada tanggal 22 Oktober. Versi sejarah menyebut hasil diskusi antara Kiai Hasyim Asy'ari dengan Bung Karno.
Intinya setiap umat Islam, terutama yang berada di radius jarak 94 kilometer dari pertempuran Surabaya, hukumnya wajib berjihad fi sabilillah mempertahankan tanah air dari gempuran penjajah.
"Dan kebetulan sebagian besar yang bergerak maju ke medan perang adalah kalangan santri. Namun, resolusi itu sendiri sebenarnya ditujukan kepada seluruh umat Islam," ujar dia.
Mahathir yang akan memakai nama lembaga Front Aktivis Muda NU Blitar Raya berencana memutar film dokumenter resolusi jihad dan diskusi pada 22 Oktober 2015 mendatang. Pemutaran film dan diskusi pada peringatan perdana Hari Santri akan dilakukan di desa-desa dengan melibatkan kelompok pemuda karang taruna dan remaja masjid.
"Sekali lagi, tidak ada alasan menolak Hari Santri. Sebagai umat Islam seharusnya mendukung ini sepenuhnya, "tutur dia.
Hal senada disampaikan Ketua GP Ansor NU Kota Blitar Hartono, menurutnya, tidak ada alasan umat Islam, khususnya Muhammadiyah menolak penetapan hari santri. Hartono menegaskan, tidak ada yang dikotak-kotakkan. Hari Santri justru menunjukkan umat Islam memiliki peran besar dalam revolusi kemerdekaan.
"Artinya dasar utama penetapan Hari Santri adalah sejarah perjuangan bangsa. Dan penggeraknya adalah resolusi Jihad. Ini sama dengan memberi penghargaan kepada pahlawan kemerdekaan, "ujarnya.

Sebelumnya, Haedar Nashir dalam acara pembukaan Tanwir II Nasyatul Aisyiyah di Bandung, Kamis 15 Oktober 2015 menyatakan, organisasinya menolak Hari Santri Nasional. Haedar beralasan, Muhammadiyah membawa semangat ukhuwah yang lebih luas di tubuh umat Islam. Muhammadiyah khawatir, Hari Santri hanya akan memunculkan dikotomi santri dan non santri. Hari Santri hanya akan mengkotak kotakkan kategori santri, abangan dan priyayi. Atas dasar itu, Muhammadiyah akan menyampaikan penolakan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
[AFR]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar