Mushaf Kuno Indonesia
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Tarikh Al-Quran
Dosen
Pengampu: Hilmy Muhammad
DISUSUN OLEH:
ACHMAD FACHRUR ROZI (12530005)
WAHID SUBHAN (11530122)
MISS SAOWADAH
HEMYEH (12530098)
MOHAMMAD NASRULLOH (12530 )
JURUSAN
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
A. Pendahuluan
Seni mushaf mulai berkembang pada abad ke-9 di
Kufah dan Baghdad. Perkembangan ini sebagai kemajuan yang pernah dicapai kaum
muslimin pada bidang seni kaligrafi yang dimulai pada abad ke-7. Saat itu
sebagai sahabat Nabi, Zaid bin Sabit menulis wahyu atas perintah Nabi dan
dikompilasi serta dikodifikasi dalam satu mushaf pada masa Khalifah Usman bin Affan (tahun 650 M). Pada masa Khalifah Usman dibentuk panitia yang terdiri dari Zaid bin
Sabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin As, Abdurrahman bin Haris
bin Hisyam, masing-masing sebagai anggota. Tugas panitia ini adalah membukukan
Al-Qur’an yaitu menyalin lembaran-lermbaran Al-Qur’an yang diambil dari Hafsah
binti Umar menjadi mushaf. Dalam pelaksanaan tugas ini khalifah Usman
menasehatkan :
- Dalam penulisan Al-Qur’an
supaya mengambil keputusan berdasarkan bacaan para penghafal Al-Qur’an (hamil al-Quran).
- Kalau terdapat perbedaan
antara mereka mengenai bacaan, haruslah dituliskan menurut dialek suku
Quraisy sebab Al-Qur’an diturunkan menurut dialek mereka.
Setelah tugas itu selesai dikerjakan oleh panitia,
lembaran-lembaran Al-Qur’an yang dipinjam dari Hafsah itu dikembalikan.
Al-Qur’an yang telah dibukukan itu diberi nama Al-Mushaf dan oleh panitia
ditulis beberapa mushaf. Empat salinan pertama mushaf yang dikirim ke beberapa wilayah Islam seperti Mekkah, Syiria, Basrah dan Kufah agar ditempat-tempat tersebut
disalin pula dan selebihnya ditinggalkan di Madinah untuk Khalifah Usman
sendiri. Itulah yang diberi nama Mushaf Al-Imam dan selanjutnya menjadi naskah baku bagi penyalinan
Al-Qur’an yang disebut
Rasm Usmani. Sesudah itu Khalifah Usman memerintahkan mengumpulkan
semua lembaran Al-Qur’an yang ditulis sebelum itu untuk dibakar. Mushaf yang
ditulis di zaman Khalifah Usman ditulis pula oleh kaum muslimin berdasarkan
Mushaf Al-Imam (yang di Madinah) dan mushaf-mushaf yang di Mekkah, Syria,
Basrah dan Kufah. Sejak itulah kegiatan penyalinan Al-Qur’an tidak pernah terhenti. Penulisan Al-Qur’an pada zaman Khalifah Usman disebut periode pertama.
Sedangkan periode kedua, penulisan Al-Qur’an barulah dibubuhi titik-titik yang
dalam hal ini dipelopori oleh Abu Al-Aswad Ad-Duali pada zaman Khalifah Marwan
bin Hakam. Dalam periode ketiga, penulisan Al-Qur’an barulah dibubuhi syakal
(harakat) yang dipelopori oleh Hajjaj bin Yusuf. Dalam periode keempat barulah
ditambahkan tanda-tanda waqaf, marka’ dan lain-lain.
Penulisan
mushaf Al-Qur’an terus berlangsung di seluruh wilayah Islam, sejalan dengan
penaklukan-penaklukan wilayah baru. Banyak pula
raja-raja Islam memprakarsai dan menulis mushaf Al-Qur’an dengan tangannya
sendiri untuk berbuat amal yang dipandang terbaik dan besar
pahalanya. Seni mushaf yang mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-14
dan 16 di Mesir pada masa dinasti Mamluk, Irak, Turki dan negeri-negeri
Maghribi termasuk Andalusia. Sejak penghujung abad ke-16 hingga abad ke-20 pada
masa dinasti Safawiyyah di Persia sempat memudar kejayaannya bahkan terlupakan.
Untuk meneruskan jejak para ahli
dan empu kaligrafi pada masa lalu, di nusantara terdapat mushaf-mushaf kuno
yang telah ditulis dan diiluminasi oleh ulama dan orang-orang sholeh atas
perintah para raja yang keberadaannya hampir dijumpai di setiap kerajaan dan
kesultanan Islam di nusantara, mushaf-mushaf itu diperkirakan telah berusia
antara seratus sampai empat ratus tahun dan menunjukkan kekayaan iluminasi
dengan cita rasa tinggi pada zamannya. Sepanjang yang diketahui, di Indonesia penulisan mushaf Al-Qur’an telah dimulai sejak empat abad yang lalu. Berbeda
dengan mushaf di negara Islam lainnya, tradisi penulisan mushaf Al-Qur’an di
Indonesia lebih mengedepankan seni hias khas Indonesia dan toleransi Islam
terhadap kebudayaan setempat.
B.
Pengertian Mushaf
Mushaf (jamak masahif) secara bahasa berarti kitab atau buku. Secara
istilah, dalam pemakaian sehari-hari, kata “mushaf” lazimnya dimengerti sebagai Kitab Al-Qur’an, sehingga sering disebut Al-Mushaf asy-Syarif yang
berarti Al-Qur’an
yang Mulia. Dalam konteks ini, pengertian mushaf adalah salinan wahyu Allah
(Al-Qur’an) dalam bentuk lembaran-lembaran naskah tulis yang
utuh dan lengkap.
Dalam
kenyataannya, ia dapat saja berupa lembaran-lembaran tidak lengkap, atau hanya
beberapa juz saja karena hilang, rusak, atau karena terpisah-pisah
jilidannya. Termasuk dalam pengertian ini adalah mushaf yang dilengkapi
catatan-catatan tambahan berupa arti atau tajwid di sekitar teks utama. Namun,
kitab-kitab tafsir tidak termasuk dalam pengertian mushaf, dan tidak tercakup
dalam penelitian ini. Meskipun demikian, informasi tambahan dari naskah tafsir
dan naskah-naskah lain tetap diperlukan untuk mendukung sebuah penelitian.
Adapun yang melingkupi pengertian mushaf adalah salinan Al-Qur’an secara keseluruhan, yang mencakup teks (nash) Al-Qur’an, iluminasi (hiasan sekitar teks), maupun aspek
fisiknya, seperti jenis kertas, tinta, ukuran naskah, jenis sampul, penjilidan,
dan lain-lain. Keseluruhan aspek fisik mushaf diteliti secara detail.
Termasuk
dalam pengertian mushaf yang diteliti adalah mushaf tulisan tangan yang belum
masuk ke dalam dunia penerbitan atau cetak-mencetak. Walaupun demikian,
mushaf-mushaf cetak tetap dijadikan bahan kajian sebagai sebuah proses sejarah
penulisan mushaf. Di samping itu, aspek historis juga dikaji secara seksama
untuk mendapatkan gambaran historis perkembangan penulisan mushaf di Indonesia.
Dengan demikian, materi yang dikaji difokuskan kepada mushaf manuskrip (tulisan
tangan) dan mushaf yang sudah dicetak sepanjang sejarah, baik yang menggunakan
Rasm Usmani maupun Imla’i.
Metodologi
penelitian bisa menggunakan dua pendekatan, yaitu pertama,
penelaahan terhadap manuskrip Al-Qur’an yang tersimpan di berbagai perpustakaan atau pun
perorangan; dan kedua, menggunakan pendekatan sejarah (historical approach)
untuk memperoleh data yang jelas tentang alur sejarah dan perkembangan
penulisan mushaf Al-Qur’an.
C.
Temuan Mushaf di Indonesia
Pada saat ini upaya
pemeliharaan Al-Qur’an tidak hanya dalam bentuk hafalan, tapi juga dalam bentuk
pemeliharaan mushaf Al-Qur’an dari generasi ke generasi. Sebagaimana yang
dilakukan oleh Puslitbang Lektur Keagamaan Balitbang dan Diklat Keagamaan
Departemen Agama RI. Penelitian mushaf ini bertema “Sejarah Perkembangan
Penulisan Mushaf Al-Qur’an di Nusantara” tahap I yang dilaksanakan di 13
propinsi tahun 2003. Penelitian ini berangkat dari temuan sebelumnya bahwa
penulisan mushaf Al-Qur’an di Indonesia telah dimulai sejak empat abad yang
lalu. mushaf yang dianggap tertua ditulis oleh seorang ulama al-faqih al-shalih
‘Afifudin Abdul Baqi bin ‘Abdullah al-‘Adni, bertahun 1585 M, di Wapanwe,
Kaitetu, dan oleh seorang bernama Nur Cahya (tahun 1590 M) yang menyelesaikan
penulisan mushaf di pegunungan Wawane, Ambon. Abad ke-16 itu merupakan awal
pertumbuhan penulisan mushaf Al-Qur’an di Indonesia. Beberapa naskah al-Qur’an
kuno juga dijumpai di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara
Barat, Bali dan Sebagainya.
Hingga saat ini belum
ada buku monografi yang memaparkan sejarah penulisan mushaf Al-Qur’an dari masa
ke masa. Demikian pula belum banyak diketahui biografi penulisnya dan tempat
mushaf-mushaf tersebut di tulis. Penelitian ini bertujuan: pertama,
mengetahui perkembangan penulisan mushaf Al-Qur’an di Indonesia. Kedua,
Menginventarisasi, mengidentifikasi, dan mengkaji naskah-naskah mushaf
Al-Qur’an di Indonesia. Ketiga, mengetahui penulis, pemrakarsa, dan
pendukung penulisan mushaf di Indonesia dan mengetahui tipologi rasm, kaligrafi
dan iluminasinya. Penelitian mushaf
Al-Qur’an ini dilakukan secara bertahap, pada tahap pertama penelitian di
lakukan pada tahun 2003, mencakup 13 wilayah penelitian dengan hasil temuan
sebagai berikut:
|
No.
|
Provinsi
|
Jumlah Judul Naskah
|
|
1
|
Banten
|
5 naskah
|
|
2
|
DI Yogyakarta
|
9 naskah
|
|
3
|
Jawa Barat
|
4 naskah
|
|
4
|
Jawa Tengah
|
21 naskah
|
|
5
|
Jawa Timur
|
57 naskah
|
|
6
|
Kalimantan Selatan
|
1 naskah
|
|
7
|
Sumatera Selatan
|
10 naskah
|
|
8
|
NTB
|
15 naskah
|
|
9
|
Sumatera Barat
|
3 naskah
|
|
10
|
Riau
|
10 naskah
|
|
11
|
Sumatera Utara
|
1 naskah
|
|
12
|
Kalimantan Timur
|
10 naskah
|
|
13
|
Sulawesi Selatan
|
15 naskah
|
|
Jumlah
|
161 naskah
|
D. Keadaan Mushaf
Dari pengkajian
terhadap 161 mushaf Al-Qur’an di atas,
keadaan mushaf yang ditemukan di Indonesia adalah sebagai berikut:
Pertama, keadaan naskah-naskah Al-Qur’an yang
ditemukan pada umumnya kurang terawat, sehingga kertas naskah sudah banyak yang
lapuk dan dimakan rayap, serta sulit untuk dibaca. Pada umumnya naskah sudah
tidak utuh lagi, terutama pada beberapa halaman awal dan akhir. Para petugas museum dan ahli waris
nampaknya belum memahami bagaimana cara merawat dan menyimpan naskah mushaf
dengan baik. Dari naskah-naskah Al-Qur’an yang ditemukan, hanya sebagian kecil
yang mempunyai kolofon, walaupun tidak lengkap, sehingga tidak diketahui siapa
penulisnya, pemesannya, serta tahun penulisannya. Untungnya sebagian besar
naskah ditulis di atas kertas Eropa yang memiliki cap kertas, sehingga dapat
memberi petunjuk tentang perkiraan usia naskah.
Kedua, naskah-naskah yang ditemukan hanya
sebagian kecil yang ditulis dengan Rasm Utsmani. Selebihnya ditulis
dengan Rasm imla’i. Sistem penulisannya nampak beragam, ada yang
dengan sistem pojok, dan ada yang tidak. Ada yang setiap awal Juz dimulai pada
awal halaman, dan adapula yang tidak diatur sama sekali.
Ketiga, semua naskah terdapat kesalahan dan
ketertinggalan (kekurangan) dalam menulis teks ayat. Terjadinya kesalahan atau
ketertinggalan dalam penulisan teks ayat menjelaskan bahwa penulisan mushaf
tersebut tidak melalui proses pentashihan. Kesalahan tersebut ada yang
diperbaiki langsung dengan cara menambah kalimat di tepi luar halaman teks,
atau di sela-sela baris, dan ada yang tidak diperbaiki.
Perbaikan dengan menambah kalimat di tepi luar
halaman teks atau di sela-sela baris itu, kemungkinan besar dilakukannya
berdasarkan tiga hal:
1. Kesalahan langsung ditemukan pada saat menulis
naskah, sedangkan alat untuk menghapus tulisan belum ada pada masa itu,
sehingga kekurangan tersebut terpaksa ditambahkan di tepi halaman teks.
2. Kesalahan atau kekurangan tersebut kemungkinan
ditemukan setelah naskah itu selesai ditulis. Ketika penulisnya membaca kembali
di kemudian hari, kesalahan atau kekurangan itu baru diketahui, lalu penulisnya
menambah kekurangan itu di tepi halaman teks.
3. Kesalahan ditemukan oleh orang lain setelah naskah
selesai ditulis, lalu orang tersebut menuliskan kekurangan tadi di tepi halaman
teks atau di sela-sela baris, tempat kesalahan itu ditemukan. Hal ini terlihat
dari karakter tulisan koreksi atau tambahan itu, ada yang tidak sama dengan
tulisan aslinya.
Berbagai kesalahan dalam penulisan teks Al-Qur’an karena
beberapa hal, diantaranya:
1. Para penulis naskah pada masa itu masih terbatas
dan banyak yang belum profesional.
2. Belum ada lembaga yang secara khusus meneliti
kebenaran penulisan naskah Al-Qur’an (mentashih) seperti sekarang.
3. Naskah masih ditulis oleh perorangan, baik atas
permintaan pemerintahan (raja) atau pun oleh masyarakat.
4. Naskah tersebut tidak sempat dibaca oleh banyak
orang, terutama yang mengetahui dan hafal Al-Qur’an (hamil
al-Quran).
Keempat, kaligrafi yang digunakan sangat
sederhana, dan penulisnya belum dapat di kategorikan sebagai penulis Arab yang
baik (Khattat). Namun semua tulisannya cukup konsisten, dilihat dari
besar tulisan, kerapatan, maupun gayanya. Gaya kaligrafi yang digunakan untuk
nash Al-Qur’an adalah naskhi, kepala surah dan tulisan juz
menggunakan sulus, naskhi, dan “kaligrafi floral”,
yakni gaya tradisional khas yang dikembangkan secara lokal.
Kelima, Iluminasi Mushaf pada umumnya terdiri atas tiga bagian:
1. Iluminasi
pada Ulumul Qur’an, Nisful Qur’an dan Khatmul Qur’an.
2. Iluminasi
pada kepala-kepala surat (‘unwan) dan
3. Iluminasi
pada pinggir halaman, untuk tanda-tanda Juz, Nisf, Hizb, Nisfu
Hizb dan lain-lain. Masing-masing bagian iluminasi tersebut dilukis
dengan tingkat intensitas berbeda-beda, ragam hias yang digunakan pada umumnya
adalah floral (tumbuh-tumbuhan), dan ada pula yang menggunakan sketsa binatang
(Sumatera Barat dan Sumedang). Berdasarkan temuan mushaf tertua bertahun 1585 M dari Ambon,
diperkirakan bahwa abad ke-16 merupakan awal pertumbuhan penulisan mushaf
Al-Qur’an di Indonesia. Ulama-ulama di berbagai tempat lain di Indonesia
diperkirakan juga melakukan hal yang sama, karena naskah-naskah Al-Qur’an kuno
juga di jumpai di pulau-pulau lain; Jawa, Nusa Tenggara, Sumatera, Kalimantan
dan Sulawesi sebagaimana data di atas.
E.
Gaya Penulisan dan Desain Mushaf
a) Penulisan
Harakat
1. Harakat fathah
Fathah yang digunakan ada dua macam, yaitu fathah
miring dan fathah berdiri. Ada beberapa naskah yang hampir tidak mengenal
fathah berdiri. Semuanya menggunakan fathah miring, baik pada huruf-huruf yang
semestinya dibaca panjang, seperti pada lafadz Jalalah ﷲ atau pada lafal-lafal yang mempunyai alif maqsurah seperti
: تقوى، حتى، على dan sejenisnya. Adapun penggunaan fathah
berdiri dapat dikategorikan kepada tiga kelompok:
a. Fathah berdiri
digunakan pada semua lafal yang dibaca panjang (mad), baik yang tidak
menggunakan alif maupun yang menggunakan alif atau wau maqsurah, seperti pada
lafal: الصلوة، على، تقوى, dan sejenisnya. Hal ini dijumpai pada
naskah yang ditulis berdasarkan Rasm Usmani.
b.
Fathah berdiri hanya digunakan pada lafal-lafal tertentu
saja, seperti pada lafal: الله,
تقوى، حتى، على dan
sejenisnya. Di antara naskah-naskah tersebut ada yang menerapkan secara
konsisten dan ada pula yang tidak.
c.
Fathah berdiri digunakan pada huruf yang disertai
dengan mad Tabi’i alif, seperti: مساجد، القتال، المال (huruf sin, ta dan mim diberi harakat fathah berdiri).
2. Harakat kasrah
Kasrah yang digunakan ada dua macam, yaitu kasrah
miring dan kasrah berdiri. Penggunaan harakat kasrah berdiri terbagi kepada dua
kelompok besar, yaitu:
a. Kasrah berdiri digunakan
pada lafal-lafal yang menggunakan mad Tabi’i, ya dan ha ‘amar. Untuk huruf mim
dan ha diberi harakat kasrah berdiri. Namun hampir semua naskah yang ada tidak
menggunakan hal ini secara konsisten.
b. Kasrah berdiri
hanya digunakan pada lafal-lafal khusus saja.
3. Harakat Dhammah
Semua naskah yang ada hanya menggunakan harakat
Dhammah berbentuk seperti wau kecil. Bentuk tersebut digunakan baik pada
huruf-huruf yang dibaca pendek atau pun yang dibaca panjang. Dalam
naskah-naskah yang dijumpai belum mengenal harakat dhammah terbalik untuk
bacaan panjang, seperti yang dikenal saat ini.
4. Harakat sukun
Bentuk harakat sukun yang digunakan ada dua macam,
ada yang berbentuk setengah lingkaran dan ada yang berbentuk lingkaran penuh.
Penggunaan sukun ada dua kelompok, yaitu:
a. Sukun pada setiap huruf mati, termasuk huruf mad
(wau dan ya), kecuali alif.
b. Sukun pada setiap huruf mati selain huruf mad
(wau, ya dan alif).
b) Penulisan Tanda
Waqaf
Sebagian besar naskah yang ditemukan belum
menggunakan tanda-tanda waqaf. Namun tidak berarti semua naskah telah
menggunakan tanda-tanda waqaf tersebut secara lengkap. Ada naskah yang hanya
mengenal satu tanda waqaf dan ada pula yang dua atau tiga macam.
c) Penulisan Tanda
Tajwid
Penulisan tanda tajwid, yaitu tanda idghom, iqlab, mad wajib, mad jaiz, dan
sebagainya. Hampir semua naskah yang ditemukan tidak mengenal tanda idghom, iqlab, dan
mad jaiz, kecuali mad wajib. Namun masing-masing naskah tidak ada yang
menerapkannya secara konsisten. Sebuah mushaf dari Riau telah dilengkapi dengan
tanda-tanda tajwid yang sangat khas. Setiap lafal atau kalimat yang bacaannya
terkait dengan ilmu tajwid diberi tanda-tanda tertentu oleh penulisnya,
seperti untuk bacaan idghom bi gunnah yang diletakkan di atas huruf bersangkutan, untuk bacaan ikhfa', untuk bacaan izhar, untuk bacaan iqlab
yang diletakkan di atas ba’, untuk idghom bila gunnah yang diletakkan di atas
harakat, untuk bacaan mad jaiz diletakkan di atas huruf mad dan untuk bacaan
mad wajib. Selain itu,
ada pula naskah yang telah mengenal nun sambung kecil yang diletakkan di bawah
alif wa’al, seperti
yang ditemukan pada mushaf dari Palembang dan Riau.
d) Tanda Ayat
Tanda
ayat yaitu tanda yang digunakan untuk pembatas antara satu ayat dengan ayat
lainnya. Semua naskah bertanda ayat bulatan kecil kosong tanpa angka, atau
hanya berupa tanda titik. Adakalanya bulatan tersebut diberi warna, kuning atau
merah, sehingga lebih memperjelas tampilannya. Penempatan tanda-tanda ayat ada
yang tidak sama. Ada ayat-ayat yang semestinya diberi tanda ayat, tidak diberi
tanda ayat. Sebaliknya, ada pula tempat-tempat tertentu yang semestinya tidak
terdapat tanda ayat, justru diberi tanda ayat.
e) Desain Sampul
Perwajahan sampul naskah-naskah yang masih memiliki
sampul (cover) pada umumnya terbuat dari kulit yang sudah disamak dan diolah
dengan kualitas yang cukup bagus, seperti halnya sampul-sampul kitab kuning
yang dijilid dengan afranji yang kita kenal sekarang ini. Bagian sampul
didesain dengan ukiran yang cukup indah, dicetak dengan cara embos. Ukiran itu
terdapat di tengah-tengah (medalion), tengah bagian atas dan bagian bawah,
serta pada keempat sisinya. Ukiran di bagian tengah adakalanya berupa kaligrafi
tulisan “Muhammad” dalam bentuk oval, atau hiasan bunga-bunga (flora). Untuk
memperindah, khat Arab itu dihiasi pula dengan ukiran-ukiran bunga. Ukiran yang
terdapat pada empat sisi dan di tengah-tengah bagian atas dan bawah berbentuk
akar dan daun yang melingkar-lingkar, sehingga tampak indah. Sekitar 2 cm dari
pinggir sampul, mengikuti tepi sampul, terdapat pula ukiran berbentuk tali
berpilin-pilin yang menambah keindahan desain.
Kemungkinan besar, pembuatan cover dan penjilidan
tersebut bukanlah dibuat oleh orang-orang setempat, tetapi dipesan dari Betawi
(Batavia). Keahlian semacam itu masih terbatas di kalangan orang-orang Eropa,
atau pribumi yang telah memperoleh keterampilan menjilid dari orang Eropa. Hal
ini didasarkan kepada surat Raja Ali Haji tanggal 27 Jumadil Akhir 1275 H (1859
M) yang memesan sejumlah kitab yang hendak diberi sampul di Betawi. Pola ukiran
sampul naskah Al-Qur’an yang ditemukan di Riau dan Palembang hampir sama.
DAFTAR
PUSTAKA
Bafadal,
Fadhal AR dan Rosehan Anwar. Mushaf-Mushaf Kuno di Indonesia, Jakarta:
Puslitbang Lektur Keagamaan, Cet I, 2005.
Gallop Annabel Teh. Seni Mushaf di Asia Tenggara
(terj. Ali Akbar). Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2004.
Puslitbang Lektur Agama. Pedoman Umum Penulisan
dan Pentashihan Mushaf Al-Quran dengan Rasm Utsmani. Jakarta: Balitbang
Agama, 1998/1999.