Senin, 08 Februari 2016

Cerpen Anak Islami "Daily of Rafi"

Pagi itu, aku terbangun. Namaku Rafi. Seperti apa yang telah ia niatkan semalam, sebelum membaca doa akan tidur. Ku niatkan agar dapat bangun sebelum subuh, kemudian ikut berjamaah ayah dan ibuku di masjid. Ya, ayah dan ibuku selalu menyempatkan waktu untuk berjamaah di masjid. Mereka berharap agar aku juga meneladani kebiasaan baik mereka ini.
Ayam jago berkokok bersahut, azan subuh sedang berkumandang. Bergegas, Rafi merapikan kamar tidurnya kemudian segera mengambil air wudu. Pagi ini air belum begitu dingin, masih terbilang sejuk. Lain halnya jika setelah subuh, air begitu dingin, membuat seluruh bulu kuduk merinding dan menggigil. Kata ayah, mandi sebelum subuh itu menyehatkan, bahkan menurut medis mampu mengobati berbagai macam penyakit. Salah satunya mencegah osteoporosis (perapuhan pada tulang) dan mengobati penyakit rematik.
“Waahh, hebat ya, ayah? Ternyata air yang kita gunakan pagi sebelum subuh saja mengandung banyak manfaat. Benar kata ayah, kalau Allah tidak menciptakan sesuatu apapun tanpa manfaat yang banyak.” Sahut Rafi bersemangat. Rafi membuktikan sendiri, air yang digunakannya sebelum subuh dengan air yang digunakannya mandi ketika sebelum berangkat sekolah biasanya. “Benar kata ayah, tadi.” Bicaranya dalam hati.
Ayah Rafi mengajarkan agar ia senantiasa bersyukur, memohon ampun dan berdoa ketika menginginkan sesuatu. Mensyukuri apa yang telah diberikan Allah atas nikmat sekecil apapun, memohon ampun atas segala kesalahan yang telah diperbuat, kemudian barulah meminta apa yang dikehendakinya dengan berdoa. Rangkaian inilah yang ditanamkan, karena sering kali manusia hanya meminta, itu pun jika dalam keadaan terdesak. Barulah ingat. Sehingga ayah Rafi menanamkan agar mensyukuri nikmat terlebih dahulu. Kita dilahirkan dengan begitu banyak nikmat, tanpa kita sadari, kita melakukan kesalahan, besar maupun kecil. Saat kita mempunyai hajat, maka sudah sepantasnya agar terlebih dahulu mensyukuri, meminta ampun kemudian barulah meminta keinginannya dengan berdoa. Aku bersyukur, dilahirkan dalam keluarga yang sedemikian ini. Aku dididik dengan baik, dengan keteladanan sifat ayah dan ibuku.
Pukul setengah tujuh pagi, ibu sudah menyiapkan sarapan untukku. Telur dadar dan taburan kecap di atasnya. Makanan kesukaanku. Ibu selalu tahu apa yang aku inginkan. “Alhamdulillah, nak. Sarapanmu hari ini telur dadar. Sini makan dulu, ya. Ibu suapi.” Kata ibu menawarkan. “Telur dadar yang dibuat ibu, pas. Aku paling suka telur dadar di bagian pinggirannya, terasa begitu gurih.” Kata Rafi ambil mengunyah suapan pertama. “Huussh, pelan-pelan, nak. Makanlah pelan-pelan.” Kata ibu mengingatkan.
Sarapan habis, ibu menyodorkan minumku, segelas susu putih sambil berkata, “Sudah siang, nak. Lekas minum susumu, lalu berangkatlah ke sekolah.” Sekolahku tak jauh, hanya beberapa meter dari rumah. Biasanya kawan-kawanku menghampiri, saat aku sudah selesai makan. Tiga orang temanku, yaitu Syarif, Tino dan Reza. Merekalah yang setiap hari menghampiriku, tepat setelah aku menyelesaikan sarapanku. Aku duduk di kelas 2 SD, di sebuah sekolah negeri di daerah Kroya, Cilacap. Hari ini, upacara pengibaran bendera. Aku baru ingat, topi dan dasi harus dikenakan hari ini. Gugup, aku mengecek ranselku. “Hmm.. Syukurlah, ternyata sudah ada di dalam ransel. Mungkin ibu menyiapkannya semalam.” Kata Rafi dalam hati. Aku baru ingat setelah melihat kawan-kawanku mengenakannya.
Kuputuskan untuk kembali ke rumah demi mengambil topi dan dasi. Tino berkata, “Ayo, aku temani. Syarif dan Reza biarkan ke sekolah dulu, membawa tas kita. Bisa kan?” Lekas keduanya kembali ke rumah Rafi, sepuluh menit lagi, nampaknya masih cukup. Sedangkan Syarif dan Reza menuruti membawa kedua tas Rafi dan Tino. Pukul tujuh kurang 2 menit, Rafi dan Tino sampai di sekolah. Keringat mengucur deras karena berlari dari rumah. Bel sekolah berbunyi, pertanda upacara akan segera dimulai. Regu petugas upacara bersiap di tempatnya. Dua hari yang lalu mereka giat berlatih seusai pulang sekolah, semoga saja upacara berjalan baik karena kerja keras mereka.
Upacara selesai, kini pelajaran pertama dimulai. Pendidikan Agama Islam. Pak Abdul, guru pelajaran agama masuk ke ruangan. Menenteng buku cetak tebal dan LKS PAI. “Assalamu’alaikum...” Pak Abdul memasuki kelas sambil memberi salam. Siswa-siswi kelas Rafi bergemuruh, bergegas ke tempat duduknya masing-masing. “Wa’alaikum salam warahmatullohi wabarakatuh, Pak Abdul” seru para siswa. Hari ini setoran hafalan surah-surah pendek. Kartu Hafalan Rafi sudah separuhnya terisi. Surah Al-Lail, jatahku hari ini.
Semalam ibu membantuku untuk menghafal Surah Al-Lail. Kata ibu, jika kita ingin lebih cepat menghafal, kita harus lebih sering membaca Al-Quran. Sebab, secara tidak langsung kita juga mengakses informasi yang dilihat mata, kemudian dikirimkan ke otak untuk menyimpan ingatan itu. Nah, karena itulah otak kita menjadi terlatih dan lebih cepat untuk menanggapi informasi. Salah satu cara lain agar cepat hafal, bisa juga dengan mengulanginya beberapa kali, lalu menutup mata sambil mengucapkan apa yang dihafalkan. Cara ini bekerja karena otak menanggapi bunyi yang didengar terus menerus dan kemudian menyimpannya dalam ingatan. “Wah, begitu hebat ya, kerja otak kita” kata Rafi.
Pak Abdul bercerita, tentang kebiasaan menghafal orang Arab di masa Jahiliyah. Masa sebelum masuknya Islam. Pada masa itu, orang Arab mempunyai kebiasaan untuk membuat syair-syair lalu ditempelkan syair-syair itu di tembok-tembok rumah mereka. Karya yang terbaik akan dipajang pada dinding Ka’bah. Tak sedikit orang menghafal syair-syair itu. Mereka menghafal karena memang masih jarang orang yang bisa membaca dan menulis. Lalu masuklah Islam dengan di utusnya Nabi Muhammad SAW. Allah menurunkan Al-Quran kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi seluruh alam. Di dalamnya mencakup berbagai aspek kehidupan. Banyak sahabat Nabi yang dulunya memerangi Islam, namun ketika sudah mendengar bacaan Al-Quran, mereka menangis, terharu, karena keindahan sastra di dalamnya. Mereka mengakui baru kali ini mendengar syair seindah itu, lalu mereka masuk Islam. Kebiasaan menghafal syair-syair sebelumnya digantikan dengan menghafal Al-Quran. Nabi menjamin bagi para penghafal Al-Quran akan menempatkannya di surga.
Bel istirahat berbunyi. Pak Abdul mengakhiri pertemuan dengan salam.