Senin, 09 Juni 2014

Saat Kita Ribut Pilpres, Malaysia Caplok Camar Bulan dan Tanjung Datu


           
Pantai Tanjung Datu
         sai  membaca berita  hasil kunjungan kerja Komisi I DPR RI di Perbatasan RI-Malaysia di Camar Bulan dan Tanjung Datu, Sufi tua berteriak keras sambil membanting koran ke lantai. Pasalnya, berita yang sangat penting tentang pencaplokan wilayah RI oleh Malaysia itu hanya  ditulis singkat  pada  rubrik internasional di halaman dalam, tertutupi  oleh berita-berita utama seputar Pilpres. “Media massa sengaja mengarahkan opini publik ke arah Pilpres sampai semua orang lengah,” ujar Sufi tua geram,” Ujungnya  Indonesia  kehilangan lagi wilayah teritorialnya. Dasar pers kapitalis, untung terus yang dipikir.”
         Azumi, Marholy, Daitya, dan Roben yang sedang  berbincang tentang Black Campaign dalam Pilpres  dengan heran mendekati Sufi tua. Setelah  memungut koran dan membaca berita yang membuat Sufi tua marah, Marholy  sambil duduk bertanya,”Memang  Malaysia sudah mencaplok wilayah RI di Kalimantan Barat, Mbah?”
         “Ya kamu baca sendirilah beritanya!” sahut Sufi tua sibuk menelpon temannya.



Camar Bulan
          “Ya di sini diberitakan bahwa RI telah kehilangan tanah di Camar Bulan seluas 1.400 Ha dan di Tanjung Datu wilayah pantai RI hilang 80.000 meter persegi. Ini statement  Wakil Ketua Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin. Apa benar begitu mbah?” papar Marholy ingin tahu.
             “Faktanya, Malaysia sekarang ini  sudah bertindak sangat jauh. Meski klaim itu  belum diratifikasi, Pemerintah Malaysia sudah membuat tempat wisata di Tanjung Datu bernama Taman Negara Tanjung Datu bahkan sudah membangun mercu suar.  Ada 11 radio dan tiga stasiun televisi milik pemerintah dan  swasta Malaysia yang mendominasi siaran di Camar Bulan,  sementara TVRI dan stasiun swasta Indonesia sulit ditangkap di sini. Penduduk Camar Bulan lebih akrab menggunakan ringgit daripada rupiah. Lagu Kebangsaan Malaysia ‘Negaraku’ lebih dihafal daripada Indonesia Raya. Ini strategi lawas yang sudah berhasil dijalankan di Pulau Sipadan dan Ligitan yang dirampas secara legal oleh Malaysia akibat kebodohan pemimpin kita,” kata Sufi tua berang.
         “Tapi mbah,” kata Marholy bertanya,”Menhan kita membantah jika ‎wilayah tersebut telah dicaplok oleh Malaysia karena Camar Bulan dan Tanjung Datu masih daerah status quo.” 

Penduduk Menunjuk Batu Tanda Perbatasan
         “Dari dulu status quo, tapi hampir pasti Malaysia akan menang karena pemimpin negeri ini tidak pernah serius menangani masalah perbatasan. Ibarat orang tolol dipatuk ular dua kali di lubang yang sama, begitulah sengketa wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datu akan dimenangkan oleh Malaysia. Aku yakin itu,” kata Sufi tua dingin.
        “Kok bisa menang mbah, bagaimana nalar sehat dan argumentasi ini?” tanya Azumi.
         “JASMERAH – Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, itu kata kunci yang diungkapkan Bung Karno, founding father Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Dengan berpijak pada sejarah, kamu akan mendapati simpulan bahwa dalam sengketa Camar Bulan dan Tanjung Datu ini Malaysia pasti akan menang,” kata Sufi tua.
      “Bagaimana alur logika penalarannya, mbah kok sampeyan bisa menyimpulkan bahwa Malaysia pasti menang? Bagaimana mbah?” sahut Azumi penasaran.
       “Pertama-tama, kalian harus tahu bahwa wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datu itu mengacu pada garis batas Peta Belanda Van Doorn tahun 1906, peta Sambas Borneo (N 120 E 10908/40 Greenwind) dan peta Federated Malay States Survey tahun 1935. Sejak Kerajaan Malaysia  didirikan tidak mempermasalahkan wilayah perbatasan tersebut,” kata Sufi tua.
    “Kenapa tiba-tiba Malaysia mengklaim wilayah itu sebagai bagian wilayahnya?”
    “Kasus itu  baru muncul saat terjadi  Memory of Understanding (MoU)  antara tim Border Commitee Indonesia dengan pihak Malaysia di Kinabalu tahun 1975 yang dilanjut di Semarang tahun 1978. Pihak Malaysia secara sepihak mengubah Garis Batas itu  dengan menempatkan patok-patok baru yang tak sesuai dengan peta tua yang sudah ditetapkan sejak era kolonial itu. Akibatnya, Indonesia akan kehilangan 1.400  ha di wilayah Camar Bulan dan 800 m garis pantai di Tanjung Datu dengan luas 80.000 meter2," ujar Sufi tua dengan gigi gemeletuk. 

Tank Apache AH-84 milik Malaysia di Perbatasan
       “Walah, kok bisa Malaysia seenaknya merubah garis batas dengan menempatkan patok-patok baru? Memang apa kerja Tim Border Committee Indonesia kok membiarkan Malaysia mengubah garis batas perbatasan?” sergah Marholy dan Daitya hampir bersamaan.
    “Itulah anehnya,” sahut Sufi tua menjelaskan,”Berdasarkan perundingan antara Indonesia dengan Malaysia di Kinabalu (1975) dan Semarang (1978), wilayah Camar Bulan seluas 1.400 hektar di Kalimantan Barat disepakati  sebagai wilayah Malaysia. Kesepakatan ini megoreksi traktat London 1824 yang memasukkan Camar Bulan sebagai wilayah Indonesia, tepatnya di patok batas A 88 sampai patok A 156. Dalam kesepakatan itu Traktaat London -- kesepakatan antara Kerajaan Inggris dengan Belanda terkait pembagian wilayah administrasi tanah jajahan kedua Negara --  disepakati  perjanjian mencakup batas negara antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan didasarkan pada watershead.  Maksudnya, yang menjadi tanda pemisah adalah aliran sungai atau gunung, deretan gunung, dan batas alam dalam bentuk punggung pegunungan. Begitulah, dengan menafsir ulang Traktat London mengenai makna Waterhead, tentu dengan mengabaikan  garis batas Peta Belanda Van Doorn tahun 1906, peta Sambas Borneo (N 120 E 10908/40 Greenwind) dan peta Federated Malay States Survey tahun 1935 Malaysia mengklaim Camar Bulan dan Tanjung Datu sebagai wilayahnya.”
    “Bagaimana Tim Border Commitee Indonesia bisa bersepakat dengan Malaysia bahwa Camar Bulan adalah bagian Malaysia?”

Jalan di Perbatasan wilayah Indonesia

        “Entahlah apa yang sudah dilakukan pejabat-pejabat Orde Baru itu. Yang pasti, tinta hitam sejarah  terukir dalam sebuah dokumen rahasia tentang perbatasan Republik Indonesia - Malaysia terkait potensi hilangnya kedaulatan Republik Indonesia (RI) atas wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datu menunjuk bahwa   institusi TNI dan beberapa  anggota   TNI mendukung klaim Malaysia atas wilayah  Camar Bulan dan Tanjung Datu yang secara de facto dan de yure sejatinya masuk  Provinsi Kalimantan Barat itu. Begitulah klaim Malaysia tersebut  membawa akibat   Indonesia kehilangan Camar Bulan yang luasnya 1.400 ha dan Tanjung Datu seluas 80.000 m2,” kata Sufi tua dengan nada sedih.
           Marholy, Azumi, Daitya, Roben terdiam. Sejurus kemudian, Daitya bertanya,”Bagaimana sampeyan bisa menyimpulkan bahwa Malaysia akan memenangkan klaim atas Camar Bulan dan Tanjung Datu sebagaimana  mereka mengulang lagi peristiwa Sipadan dan Ligitan?”
          “Apa yang Malaysia lakukan di dalam sengketa Sipadan dan Ligitan sampai memenangkan klaim atas kedua pulau itu?” tanya Marholy menyela.
           “Malaysia menempatkan warganegaranya di Sipadan dan Ligitan,” kata Sufi tua menjelaskan,”Kemudian Malaysia mengembangkan Sipadan dan Ligitan sebagai daerah hunian dan wisata sambil mengulur-ulur waktu penyelesaian di arbitrase internasional. Nah, saat tim arbitrase nasional turun ke lapangan untuk melihat fakta, tim menemukan fakta penghuni Sipadan dan Ligitan adalah warganegara Malaysia. Begitulah, Malaysia dimenangkan atas sengketa Sipadan dan Ligitan.”
          “Wuahaha, Malaysia lebih cerdik,” tukas Roben terbahak,”Kita akan dikentuti dua kali. Wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datu akan menjadi milik Malaysia seperti Sipadan dan Ligitan karena fakta menunjuk pihak yang mengembangkan Camar Bulan dan Tanjung Datu adalah Malaysia. Mereka pasti menang lagi. Menang lagi.”
          “Berarti Indonesia akan memasuki siklus baru yang akan terus berulang-ulang terkait pergantian presiden,” kata Sufi tua menarik nafas berat.

Sukhoi SU-30 MKM Growlerski Milik Malaysia Siap Tempur
    “Siklus baru apa yang akan terulang dalam pergantian presiden, mbah?”
             “Sejarah akan mencatat, betapa setiap kali Indonesia ganti presiden, maka wilayah Negara Indonesia akan berkurang. Ingat itu!” sahut Sufi tua singkat.

          “Setiap kali ganti Presiden, Negara Indonesia selalu kehilangan wilayah?” sergah Marholi mengerutkan kening,”Apa maksudnya, Mbah?”
          “Jaman Presiden B.J.Habibie, Indonesia kehilangan Timor Timur yang merdeka menjadi Timor Leste. Jaman Presiden Megawati, Indonesia Kehilangan Sipadan dan Ligitan. Nah, jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini aku berani bertaruh, Indonesia akan kehilangan Camar Bulan dan Tanjung Datu…,” kata Sufi tua sedih.
            “Berarti tahun 2020, Indonesia bisa benar-benar kehilangan kedaulatan atas seluruh wilayah teritorialnya, ya mbah?” kata Marholy berspekulasi.
            “Sudah pasti, jika presiden yang terpilih nanti menyerahkan kedaulatan negara ini kepada Imperialisme Global, paling tidak Indonesia akan terbelah menjadi “Negara Bagian”  Amerika Serikat ke-53 dan ‘Negara Bagian’ Australia.”   


Sumber: internasional.kompas.com, detik.com, 

Selasa, 20 Mei 2014

Mushaf Indonesia oleh Achmad Fachrur Rozi

Mushaf Kuno Indonesia
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah:
Tarikh Al-Quran
Dosen Pengampu: Hilmy Muhammad


DISUSUN OLEH:
ACHMAD FACHRUR ROZI         (12530005)
WAHID SUBHAN                          (11530122)
MISS SAOWADAH HEMYEH     (12530098)
MOHAMMAD NASRULLOH       (12530      )
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014

A.    Pendahuluan
Seni mushaf mulai berkembang pada abad ke-9 di Kufah dan Baghdad. Perkembangan ini sebagai kemajuan yang pernah dicapai kaum muslimin pada bidang seni kaligrafi yang dimulai pada abad ke-7. Saat itu sebagai sahabat Nabi, Zaid bin Sabit menulis wahyu atas perintah Nabi dan dikompilasi serta dikodifikasi dalam satu mushaf pada masa Khalifah Usman bin Affan (tahun 650 M). Pada masa Khalifah Usman dibentuk panitia yang terdiri dari Zaid bin Sabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin As, Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, masing-masing sebagai anggota. Tugas panitia ini adalah membukukan Al-Qur’an yaitu menyalin lembaran-lermbaran Al-Qur’an yang diambil dari Hafsah binti Umar menjadi mushaf. Dalam pelaksanaan tugas ini khalifah Usman menasehatkan :
  1. Dalam penulisan Al-Qur’an supaya mengambil keputusan berdasarkan bacaan para penghafal Al-Qur’an (hamil al-Quran).
  2. Kalau terdapat perbedaan antara mereka mengenai bacaan, haruslah dituliskan menurut dialek suku Quraisy sebab Al-Qur’an diturunkan menurut dialek mereka.
Setelah tugas itu selesai dikerjakan oleh panitia, lembaran-lembaran Al-Qur’an yang dipinjam dari Hafsah itu dikembalikan. Al-Qur’an yang telah dibukukan itu diberi nama Al-Mushaf dan oleh panitia ditulis beberapa mushaf. Empat salinan pertama mushaf yang dikirim ke beberapa wilayah Islam seperti Mekkah, Syiria, Basrah dan Kufah agar ditempat-tempat tersebut disalin pula dan selebihnya ditinggalkan di Madinah untuk Khalifah Usman sendiri. Itulah yang diberi nama Mushaf Al-Imam dan selanjutnya menjadi naskah baku bagi penyalinan Al-Quran yang disebut Rasm UsmaniSesudah itu Khalifah Usman memerintahkan mengumpulkan semua lembaran Al-Qur’an yang ditulis sebelum itu untuk dibakar. Mushaf yang ditulis di zaman Khalifah Usman ditulis pula oleh kaum muslimin berdasarkan Mushaf Al-Imam (yang di Madinah) dan mushaf-mushaf yang di Mekkah, Syria, Basrah dan Kufah. Sejak itulah kegiatan penyalinan Al-Quran tidak pernah terhenti. Penulisan Al-Qur’an pada zaman Khalifah Usman disebut periode pertama. Sedangkan periode kedua, penulisan Al-Qur’an barulah dibubuhi titik-titik yang dalam hal ini dipelopori oleh Abu Al-Aswad Ad-Duali pada zaman Khalifah Marwan bin Hakam. Dalam periode ketiga, penulisan Al-Qur’an barulah dibubuhi syakal (harakat) yang dipelopori oleh Hajjaj bin Yusuf. Dalam periode keempat barulah ditambahkan tanda-tanda waqaf, marka’ dan lain-lain.
Penulisan mushaf Al-Qur’an terus berlangsung di seluruh wilayah Islam, sejalan dengan penaklukan-penaklukan wilayah baru. Banyak pula raja-raja Islam memprakarsai dan menulis mushaf Al-Qur’an dengan tangannya sendiri untuk berbuat amal yang dipandang terbaik dan besar pahalanya. Seni mushaf yang mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-14 dan 16 di Mesir pada masa dinasti Mamluk, Irak, Turki dan negeri-negeri Maghribi termasuk Andalusia. Sejak penghujung abad ke-16 hingga abad ke-20 pada masa dinasti Safawiyyah di Persia sempat memudar kejayaannya bahkan terlupakan.
Untuk meneruskan jejak para ahli dan empu kaligrafi pada masa lalu, di nusantara terdapat mushaf-mushaf kuno yang telah ditulis dan diiluminasi oleh ulama dan orang-orang sholeh atas perintah para raja yang keberadaannya hampir dijumpai di setiap kerajaan dan kesultanan Islam di nusantara, mushaf-mushaf itu diperkirakan telah berusia antara seratus sampai empat ratus tahun dan menunjukkan kekayaan iluminasi dengan cita rasa tinggi pada zamannya. Sepanjang yang diketahui, di Indonesia penulisan mushaf Al-Qur’an telah dimulai sejak empat abad yang lalu. Berbeda dengan mushaf di negara Islam lainnya, tradisi penulisan mushaf Al-Qur’an di Indonesia lebih mengedepankan seni hias khas Indonesia dan toleransi Islam terhadap kebudayaan setempat.
B.     Pengertian Mushaf
Mushaf (jamak masahif) secara bahasa berarti kitab atau buku. Secara istilah, dalam pemakaian sehari-hari, kata “mushaf” lazimnya dimengerti sebagai Kitab Al-Qur’an, sehingga sering disebut Al-Mushaf asy-Syarif yang berarti Al-Qur’an yang Mulia. Dalam konteks ini, pengertian mushaf adalah salinan wahyu Allah (Al-Qur’an) dalam bentuk lembaran-lembaran naskah tulis yang utuh dan lengkap.[1]
Dalam kenyataannya, ia dapat saja berupa lembaran-lembaran tidak lengkap, atau hanya beberapa juz saja karena hilang, rusak, atau karena terpisah-pisah jilidannya. Termasuk dalam pengertian ini adalah mushaf yang dilengkapi catatan-catatan tambahan berupa arti atau tajwid di sekitar teks utama. Namun, kitab-kitab tafsir tidak termasuk dalam pengertian mushaf, dan tidak tercakup dalam penelitian ini. Meskipun demikian, informasi tambahan dari naskah tafsir dan naskah-naskah lain tetap diperlukan untuk mendukung sebuah penelitian.
 Adapun yang melingkupi pengertian mushaf adalah salinan Al-Qur’an secara keseluruhan, yang mencakup teks (nashAl-Qur’an, iluminasi (hiasan sekitar teks), maupun aspek fisiknya, seperti jenis kertas, tinta, ukuran naskah, jenis sampul, penjilidan, dan lain-lain. Keseluruhan aspek fisik mushaf diteliti secara detail.
Termasuk dalam pengertian mushaf yang diteliti adalah mushaf tulisan tangan yang belum masuk ke dalam dunia penerbitan atau cetak-mencetak. Walaupun demikian, mushaf-mushaf cetak tetap dijadikan bahan kajian sebagai sebuah proses sejarah penulisan mushaf. Di samping itu, aspek historis juga dikaji secara seksama untuk mendapatkan gambaran historis perkembangan penulisan mushaf di Indonesia. Dengan demikian, materi yang dikaji difokuskan kepada mushaf manuskrip (tulisan tangan) dan mushaf yang sudah dicetak sepanjang sejarah, baik yang menggunakan Rasm Usmani maupun Imla’i.[2]
Metodologi penelitian bisa menggunakan dua pendekatan, yaitu pertama, penelaahan terhadap manuskrip Al-Qur’an yang tersimpan di berbagai perpustakaan atau pun perorangan; dan kedua, menggunakan pendekatan sejarah (historical approach) untuk memperoleh data yang jelas tentang alur sejarah dan perkembangan penulisan mushaf Al-Qur’an.
C.     Temuan Mushaf di Indonesia
Pada saat ini upaya pemeliharaan Al-Qur’an tidak hanya dalam bentuk hafalan, tapi juga dalam bentuk pemeliharaan mushaf Al-Qur’an dari generasi ke generasi. Sebagaimana yang dilakukan oleh Puslitbang Lektur Keagamaan Balitbang dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI. Penelitian mushaf ini bertema “Sejarah Perkembangan Penulisan Mushaf Al-Qur’an di Nusantara” tahap I yang dilaksanakan di 13 propinsi tahun 2003. Penelitian ini berangkat dari temuan sebelumnya bahwa penulisan mushaf Al-Qur’an di Indonesia telah dimulai sejak empat abad yang lalu. mushaf yang dianggap tertua ditulis oleh seorang ulama al-faqih al-shalih ‘Afifudin Abdul Baqi bin ‘Abdullah al-‘Adni, bertahun 1585 M, di Wapanwe, Kaitetu, dan oleh seorang bernama Nur Cahya (tahun 1590 M) yang menyelesaikan penulisan mushaf di pegunungan Wawane, Ambon. Abad ke-16 itu merupakan awal pertumbuhan penulisan mushaf Al-Qur’an di Indonesia. Beberapa naskah al-Qur’an kuno juga dijumpai di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Bali dan Sebagainya.  
Hingga saat ini belum ada buku monografi yang memaparkan sejarah penulisan mushaf Al-Qur’an dari masa ke masa. Demikian pula belum banyak diketahui biografi penulisnya dan tempat mushaf-mushaf tersebut di tulis. Penelitian ini bertujuan: pertama, mengetahui perkembangan penulisan mushaf Al-Qur’an di Indonesia. Kedua, Menginventarisasi, mengidentifikasi, dan mengkaji naskah-naskah mushaf Al-Qur’an di Indonesia. Ketiga, mengetahui penulis, pemrakarsa, dan pendukung penulisan mushaf di Indonesia dan mengetahui tipologi rasm, kaligrafi dan iluminasinya.  Penelitian mushaf Al-Qur’an ini dilakukan secara bertahap, pada tahap pertama penelitian di lakukan pada tahun 2003, mencakup 13 wilayah penelitian dengan hasil temuan sebagai berikut[3]
No.
Provinsi
Jumlah Judul Naskah
1
Banten
5 naskah
2
DI Yogyakarta
9 naskah
3
Jawa Barat
4 naskah
4
Jawa Tengah
21 naskah
5
Jawa Timur
57 naskah
6
Kalimantan Selatan
1 naskah
7
Sumatera Selatan
10 naskah
8
NTB
15 naskah
9
Sumatera Barat
3 naskah
10
Riau
10 naskah
11
Sumatera Utara
1 naskah
12
Kalimantan Timur
10 naskah
13
Sulawesi Selatan
15 naskah
Jumlah
161 naskah

D.    Keadaan Mushaf
Dari pengkajian terhadap 161 mushaf Al-Qur’an di atas, keadaan mushaf yang ditemukan di Indonesia adalah sebagai berikut:
Pertama, keadaan naskah-naskah Al-Qur’an yang ditemukan pada umumnya kurang terawat, sehingga kertas naskah sudah banyak yang lapuk dan dimakan rayap, serta sulit untuk dibaca. Pada umumnya naskah sudah tidak utuh lagi, terutama pada beberapa halaman awal dan akhir. Para petugas museum dan ahli waris nampaknya belum memahami bagaimana cara merawat dan menyimpan naskah mushaf dengan baik. Dari naskah-naskah Al-Qur’an yang ditemukan, hanya sebagian kecil yang mempunyai kolofon, walaupun tidak lengkap, sehingga tidak diketahui siapa penulisnya, pemesannya, serta tahun penulisannya. Untungnya sebagian besar naskah ditulis di atas kertas Eropa yang memiliki cap kertas, sehingga dapat memberi petunjuk tentang perkiraan usia naskah.   
Kedua, naskah-naskah yang ditemukan hanya sebagian kecil yang ditulis dengan Rasm Utsmani. Selebihnya ditulis dengan Rasm imla’i. Sistem penulisannya nampak beragam, ada yang dengan sistem pojok, dan ada yang tidak. Ada yang setiap awal Juz dimulai pada awal halaman, dan adapula yang tidak diatur sama sekali.  
Ketiga, semua naskah terdapat kesalahan dan ketertinggalan (kekurangan) dalam menulis teks ayat. Terjadinya kesalahan atau ketertinggalan dalam penulisan teks ayat menjelaskan bahwa penulisan mushaf tersebut tidak melalui proses pentashihan. Kesalahan tersebut ada yang diperbaiki langsung dengan cara menambah kalimat di tepi luar halaman teks, atau di sela-sela baris, dan ada yang tidak diperbaiki.
Perbaikan dengan menambah kalimat di tepi luar halaman teks atau di sela-sela baris itu, kemungkinan besar dilakukannya berdasarkan tiga hal[4]:
1. Kesalahan langsung ditemukan pada saat menulis naskah, sedangkan alat untuk menghapus tulisan belum ada pada masa itu, sehingga kekurangan tersebut terpaksa ditambahkan di tepi halaman teks.
2. Kesalahan atau kekurangan tersebut kemungkinan ditemukan setelah naskah itu selesai ditulis. Ketika penulisnya membaca kembali di kemudian hari, kesalahan atau kekurangan itu baru diketahui, lalu penulisnya menambah kekurangan itu di tepi halaman teks.
3. Kesalahan ditemukan oleh orang lain setelah naskah selesai ditulis, lalu orang tersebut menuliskan kekurangan tadi di tepi halaman teks atau di sela-sela baris, tempat kesalahan itu ditemukan. Hal ini terlihat dari karakter tulisan koreksi atau tambahan itu, ada yang tidak sama dengan tulisan aslinya.
Berbagai kesalahan dalam penulisan teks Al-Qur’an karena beberapa hal, diantaranya[5]:
1. Para penulis naskah pada masa itu masih terbatas dan banyak yang belum profesional.
2. Belum ada lembaga yang secara khusus meneliti kebenaran penulisan naskah Al-Qur’an (mentashih) seperti sekarang.
3. Naskah masih ditulis oleh perorangan, baik atas permintaan pemerintahan (raja) atau pun oleh masyarakat.
4. Naskah tersebut tidak sempat dibaca oleh banyak orang, terutama yang mengetahui dan hafal Al-Qur’an (hamil al-Quran).
Keempat, kaligrafi yang digunakan sangat sederhana, dan penulisnya belum dapat di kategorikan sebagai penulis Arab yang baik (Khattat). Namun semua tulisannya cukup konsisten, dilihat dari besar tulisan, kerapatan, maupun gayanya. Gaya kaligrafi yang digunakan untuk nash Al-Qur’an adalah naskhi, kepala surah dan tulisan juz menggunakan sulusnaskhi, dan “kaligrafi floral”, yakni gaya tradisional khas yang dikembangkan secara lokal.  
Kelima, Iluminasi Mushaf pada umumnya terdiri atas tiga bagian[6]:
1.      Iluminasi pada Ulumul Qur’an, Nisful Qur’an dan Khatmul Qur’an.
2.     Iluminasi pada kepala-kepala surat (‘unwan) dan
3.      Iluminasi pada pinggir halaman, untuk tanda-tanda JuzNisfHizbNisfu Hizb dan lain-lain. Masing-masing bagian iluminasi tersebut dilukis dengan tingkat intensitas berbeda-beda, ragam hias yang digunakan pada umumnya adalah floral (tumbuh-tumbuhan), dan ada pula yang menggunakan sketsa binatang (Sumatera Barat dan Sumedang).  Berdasarkan temuan mushaf tertua bertahun 1585 M dari Ambon, diperkirakan bahwa abad ke-16 merupakan awal pertumbuhan penulisan mushaf Al-Qur’an di Indonesia. Ulama-ulama di berbagai tempat lain di Indonesia diperkirakan juga melakukan hal yang sama, karena naskah-naskah Al-Qur’an kuno juga di jumpai di pulau-pulau lain; Jawa, Nusa Tenggara, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi sebagaimana data di atas.
E.     Gaya Penulisan dan Desain Mushaf[7]
a)      Penulisan Harakat
1.      Harakat fathah
Fathah yang digunakan ada dua macam, yaitu fathah miring dan fathah berdiri. Ada beberapa naskah yang hampir tidak mengenal fathah berdiri. Semuanya menggunakan fathah miring, baik pada huruf-huruf yang semestinya dibaca panjang, seperti pada lafadz Jalalah atau pada lafal-lafal yang mempunyai alif maqsurah seperti : تقوى، حتى، على dan sejenisnya. Adapun penggunaan fathah berdiri dapat dikategorikan kepada tiga kelompok:
a.       Fathah berdiri digunakan pada semua lafal yang dibaca panjang (mad), baik yang tidak menggunakan alif maupun yang menggunakan alif atau wau maqsurah, seperti pada lafal: الصلوة، على، تقوى, dan sejenisnya. Hal ini dijumpai pada naskah yang ditulis berdasarkan Rasm Usmani.
b.      Fathah berdiri hanya digunakan pada lafal-lafal tertentu saja, seperti pada lafal: الله, تقوى، حتى، على dan sejenisnya. Di antara naskah-naskah tersebut ada yang menerapkan secara konsisten dan ada pula yang tidak.
c.       Fathah berdiri digunakan pada huruf yang disertai dengan mad Tabi’i alif, seperti: مساجد، القتال، المال (huruf sin, ta dan mim diberi harakat fathah berdiri).
2.      Harakat kasrah
Kasrah yang digunakan ada dua macam, yaitu kasrah miring dan kasrah berdiri. Penggunaan harakat kasrah berdiri terbagi kepada dua kelompok besar, yaitu:
a.       Kasrah berdiri digunakan pada lafal-lafal yang menggunakan mad Tabi’i, ya dan ha ‘amar. Untuk huruf mim dan ha diberi harakat kasrah berdiri. Namun hampir semua naskah yang ada tidak menggunakan hal ini secara konsisten.
b.      Kasrah berdiri hanya digunakan pada lafal-lafal khusus saja.
3.      Harakat Dhammah
Semua naskah yang ada hanya menggunakan harakat Dhammah berbentuk seperti wau kecil. Bentuk tersebut digunakan baik pada huruf-huruf yang dibaca pendek atau pun yang dibaca panjang. Dalam naskah-naskah yang dijumpai belum mengenal harakat dhammah terbalik untuk bacaan panjang, seperti yang dikenal saat ini.
4.      Harakat sukun
Bentuk harakat sukun yang digunakan ada dua macam, ada yang berbentuk setengah lingkaran dan ada yang berbentuk lingkaran penuh. Penggunaan sukun ada dua kelompok, yaitu:
a. Sukun pada setiap huruf mati, termasuk huruf mad (wau dan ya), kecuali alif.
b. Sukun pada setiap huruf mati selain huruf mad (wau, ya dan alif).
b)      Penulisan Tanda Waqaf
Sebagian besar naskah yang ditemukan belum menggunakan tanda-tanda waqaf. Namun tidak berarti semua naskah telah menggunakan tanda-tanda waqaf tersebut secara lengkap. Ada naskah yang hanya mengenal satu tanda waqaf dan ada pula yang dua atau tiga macam.
c)      Penulisan Tanda Tajwid
Penulisan tanda tajwid, yaitu tanda idghom, iqlab, mad wajib, mad jaiz, dan sebagainya. Hampir semua naskah yang ditemukan tidak mengenal tanda idghom, iqlab, dan mad jaiz, kecuali mad wajib. Namun masing-masing naskah tidak ada yang menerapkannya secara konsisten. Sebuah mushaf dari Riau telah dilengkapi dengan tanda-tanda tajwid yang sangat khas. Setiap lafal atau kalimat yang bacaannya terkait dengan ilmu tajwid diberi tanda-tanda tertentu oleh penulisnya, seperti untuk bacaan idghom bi gunnah yang diletakkan di atas huruf bersangkutan, untuk bacaan ikhfa', untuk bacaan izhar, untuk bacaan iqlab yang diletakkan di atas ba’, untuk idghom bila gunnah yang diletakkan di atas harakat, untuk bacaan mad jaiz diletakkan di atas huruf mad dan untuk bacaan mad wajib. Selain itu, ada pula naskah yang telah mengenal nun sambung kecil yang diletakkan di bawah alif wa’al, seperti yang ditemukan pada mushaf dari Palembang dan Riau.
d)     Tanda Ayat
Tanda ayat yaitu tanda yang digunakan untuk pembatas antara satu ayat dengan ayat lainnya. Semua naskah bertanda ayat bulatan kecil kosong tanpa angka, atau hanya berupa tanda titik. Adakalanya bulatan tersebut diberi warna, kuning atau merah, sehingga lebih memperjelas tampilannya. Penempatan tanda-tanda ayat ada yang tidak sama. Ada ayat-ayat yang semestinya diberi tanda ayat, tidak diberi tanda ayat. Sebaliknya, ada pula tempat-tempat tertentu yang semestinya tidak terdapat tanda ayat, justru diberi tanda ayat.
e)      Desain Sampul
Perwajahan sampul naskah-naskah yang masih memiliki sampul (cover) pada umumnya terbuat dari kulit yang sudah disamak dan diolah dengan kualitas yang cukup bagus, seperti halnya sampul-sampul kitab kuning yang dijilid dengan afranji yang kita kenal sekarang ini. Bagian sampul didesain dengan ukiran yang cukup indah, dicetak dengan cara embos. Ukiran itu terdapat di tengah-tengah (medalion), tengah bagian atas dan bagian bawah, serta pada keempat sisinya. Ukiran di bagian tengah adakalanya berupa kaligrafi tulisan “Muhammad” dalam bentuk oval, atau hiasan bunga-bunga (flora). Untuk memperindah, khat Arab itu dihiasi pula dengan ukiran-ukiran bunga. Ukiran yang terdapat pada empat sisi dan di tengah-tengah bagian atas dan bawah berbentuk akar dan daun yang melingkar-lingkar, sehingga tampak indah. Sekitar 2 cm dari pinggir sampul, mengikuti tepi sampul, terdapat pula ukiran berbentuk tali berpilin-pilin yang menambah keindahan desain.
Kemungkinan besar, pembuatan cover dan penjilidan tersebut bukanlah dibuat oleh orang-orang setempat, tetapi dipesan dari Betawi (Batavia). Keahlian semacam itu masih terbatas di kalangan orang-orang Eropa, atau pribumi yang telah memperoleh keterampilan menjilid dari orang Eropa. Hal ini didasarkan kepada surat Raja Ali Haji tanggal 27 Jumadil Akhir 1275 H (1859 M) yang memesan sejumlah kitab yang hendak diberi sampul di Betawi. Pola ukiran sampul naskah Al-Qur’an yang ditemukan di Riau dan Palembang hampir sama.[8]







DAFTAR PUSTAKA
            Bafadal, Fadhal AR dan Rosehan Anwar. Mushaf-Mushaf Kuno di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Cet I, 2005.
Gallop Annabel Teh. Seni Mushaf di Asia Tenggara (terj. Ali Akbar). Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2004.
Puslitbang Lektur Agama. Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan Mushaf Al-Quran dengan Rasm Utsmani. Jakarta: Balitbang Agama, 1998/1999.
           



[1] Fadhal AR Bafadal dan Rosehan Anwar, Mushaf-Mushaf Kuno Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan RI, hlm. vi.
[2] Fadhal AR Bafadal dan Rosehan Anwar, Mushaf-Mushaf Kuno Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan RI, hlm. vii.
[3] Fadhal AR Bafadal dan Rosehan Anwar, Mushaf-Mushaf Kuno Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan RI.
[4] Puslitbang Lektur Agama, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan Mushaf Al-Quran dengan Rasm Utsmani, Jakarta: Balitbang Agama, 1998/1999.
[5] Puslitbang Lektur Agama, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan Mushaf Al-Quran dengan Rasm Utsmani, Jakarta: Balitbang Agama, 1998/1999.
[6] Fadhal AR Bafadal dan Rosehan Anwar, Mushaf-Mushaf Kuno Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan RI.
[7] Puslitbang Lektur Agama, Pedoman Umum Penulisan dan Pentashihan Mushaf Al-Quran dengan Rasm Utsmani, Jakarta: Balitbang Agama, 1998/1999.
[8] Annabel Teh Gallop, Seni Mushaf di Asia Tenggara (terj. Ali Akbar), Lektur Vol. 2, No. 2, 2004, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan.